Bersih Desa Bakaran Kulon 2017

  • bakarankulon
  • Sep 07, 2017
BERITA

Seputar Muria, JUWANA – Desa Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon memiliki sejarah tersendiri yang cukup panjang. Menurut legenda, kedua desa ini berasal dari peristiwa larinya pengikut kerajaan Majapahit. Setelah menjelang keruntuhnya Majapahit oleh Kerajaan Demak, beberapa pengikut melarikan diri. Bukhari Wiryo Satmoko, seorang pewaris trah generasi pembatik asli Desa Bakaran Wetan sering mendengarkan cerita dari nenek moyangnya. Tampak koleksi batiknya menghiasai sudut rumahnya. Dengan menggunakan pakaian sederhana dan dengan santainya ia duduk sambil sesekali mengecek pekerjan pkerjanya yang sedang membatik. Ia mengajak tim koran sindo untuk kemudian duduk sambil menyodorkan makanan ringan. Ia menceritakan jika semuanya tersebut berasal dari legenda yang didapatnya. “Saat ini masih dikatakan legenda karena masih belum bisa dikatakan menjadi katagori sejarah,” ujarnya. Ia kemudian menceritakan semuanya dengan gamblang. “Ki Bicak, Nyai Bicak, Nyi Banoewati (Nyai Ageng Siti Sabirah), Joko Suyono, Ki Dhukut, dan Ki Joyo Truno adalah beberapa orang pengikut Majapahit yang melarikan diri,” ungkapnya kemarin. Diperjalanan mereka kemudian berpisah, rombongan Ki Dhukut dan Adiknya Sabirah beserta Joko Suyono berjalan ke utara. Kemudian mereka menemukan sebuah tempat dan ingin mendirikan perkampungan ditempat tersebut. “Mereka kemudian babat alas, tetapi Sabirah yang perempuan merasa hasil babat alasnya sedikit ketimbang kakaknya dan kemudian bernegosiasi dengannya,” ungkapnya. Ki Dhukut diminta Sabirah mencari kayu yang kemudian akan dibakar. Setelah itu Sabirah membakar kayu tersebut lantas daerah yang terkena abu bakaran tersebut menjadi milik Sabirah. “Nah itu asal mula dari daerah Bakaran dari asal kata membakar kayu,” ungkapnya. Sedangkan menurut legenda, Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon dipisah karena Nyai Sabirah memberikan sebagian wilayahnya ke KImage result for gambar bersih desaek Truno. “Kalau Menurut legenda, Truno orangnya memang malas, karena itu Nyai Sabirah atau sekarang lebih dikenal Nyai Ageng Bakaran memberikan beberapa bagian wilayahnya ke Truno. Sehingga Bakaran Wetan menjadi milik Nyi Sabirah dan Bakaran Kulon saat itu menjadi milik Ki Truno,” paparnya. Saat ditanyai tentang pantangan menggunakan batu bata merah, ia menyebutkan jika hal tersebut hanya mitos. Menurut pengakuannya, beberapa warga tidak ingin menyamai bangunan punden dari Nyai Ageng Bakaran. “Itu merupakan mitos mungkin ditakutkan ada malapetaka atau semacamnya. Kalau saya masih tetap pakai batu bata merah, dan itu memang tergantung kepercayaan masing-masing,” pungkasnya.(Ibnu)